Thursday, March 21, 2013

Menari bersama gerimis malam ini

"Di luar masih hujan gerimis nanti saja pulangnya" begitu kata adikku. 
"Hmmm biar saja sekalian main air. Ingat jaman SD kita dulu ? Pulang sekolah nyeker di musim hujan, sepatu di simpan dalam tas karna takut basah. Hanya itu satu-satunya sepatu sekolah yang kita miliki." Aku tersenyum mengenang masa kecil kita yang liar sebagai anak kampung.
"Itu beda" Sahutnya. "Dulu kita hanya anak kampung yang sederhana. Sekarang lihat dirimu, wanita dewasa, dengan blaser branded, blouse salem berenda manis dipadu rok span putih dan heels seperti itu, masa mainan hujan? Nanti masuk angin. Lagian sudah malam, telefon taxy biru saja dulu. Begitu kau melangkah keluar kompleks ini, mungkin abang ojek sudah bersiul riuh rendah." Protesnya panjang sambil mengelus hedgehog mini berduri kesayangannya. 
"Hahaaa... It's okay dear. Kalaupun aku masuk angin, kamu tahu kan tugas siapa mengerokiku? Hmm, ini cuma hujan gerimis kok. Sambil jalan sekalian melihat-lihat siapa tahu di luar sana ada pangeran yang bawa payung warna-warni menawariku tumpangan." Aku mengedipkan mata, bergegas mengemasi semua bawaanku dan melangkah ke jalan, menari bersama gerimis malam ini. *Catatan 2012*





Wednesday, March 20, 2013

Lelehan Rindumu

Ternyata kau simpan kenangan akan kekasih kisah masa lalumu dalam cheese cake berlapis saus blueberry kental seperti rindumu. Kau berbohong padaku kalau semua kenangan itu sudah kau buang padahal aku bisa melihat lelehan rindumu mengalir keluar seperti saus blueberry yang mengalir ke atas piring menyentuh ujung garpu di sebelahnya. Dalam diam kunikmati setiap suapnya dengan mata terpejam dan berharap mataku mengelabuhi aku.  
- 20March 2013-

Seekor lebah madu


Kalau saja dia seekor lebah madu, aku pasti sudah mati tersengat olehnya setelah mencicipi manis madunya. Meskipun begitu aku tidak akan  menyesal pernah mengecapnya. Pendar-pendar rasa membekas di dalam hati. Manis, seperti senja yang perlahan berubah menjadi magenta menghantarkan burung camar kembali ke peraduannya. Indah, seperti hydrangea ungu yang mekar di belakang rumah pagi ini menyambut mentari. Manis dan Indah, tanpa ada rasa sesal.
Syu - March2013



See inside my head

I didn't know why I was going to cry, but I knew that if anybody spoke to me or looked at me too closely the tears would fly out of my eyes and the sobs would fly out of the throat and I'd cry for a week. But If you could see inside my head and you would start to understand the things I value in my heart. It's connected with my feelings, emotions and also my senses. 
March 2013

Thursday, March 14, 2013

If the love is there

"It doesn't matter who you are and what you look like, if the love is there then that is what it is about"

-Love-
March 2013

Just lend me your shoulder

When i'm selfish, impatient and a little insecure. I make mistakes, I am out of control and maybe it also a hard time to be handled. But if you just be here and lend me your shoulder, i might just be okay. Handle me at my worst, then you sure you'll deserve me at my best too. Basicly, I have endless bunch of laughters, gaities, happiness and joys to be shared for free, all you need is just ask and i'll lovingly make your day. 

-Syu- March 2013

Wednesday, March 13, 2013

Jika Saja

Saat hujan tanpa halilintar turun, aku bisa sangat menikmatinya. Merasakan setiap butiran menyapu wajahku tanpa perlu meringkuk takut menutup telinga dan wajahku saat suara halilintar mampir meramaikan suasana. Dan sama seandainya saja bisa mencintaimu lebih sedikit, maka aku tidak akan sesakit ini. -Pecinta Hujan- March 2013


Friday, March 8, 2013

Memeluk Hujan

Ternyata aku terlalu lama berdiri di persimpangan itu sampai aku lupa mengistirahatkan kakiku. Mengikuti ritme lain dan melupakan nadaku sendiri, mengikuti langkah lain dan melupakan arahku sendiri, mendengarkan suara merdu lain dan menyimpan suaraku sendiri. Sampai akhirnya aku terduduk kehabisan tenaga hendak meluruskan kaki. Di bawah terik matahari sampai berganti guyuran air hujan, di jalanan yang licin ini, aku berharap seseorang membantuku berdiri lagi. Sampai saat dia datang aku akan menikmati guyuran hujan dan memeluk sang hujan erat-erat. Mungkin saja dia yang datang, membawa payung untuk meneduhiku? Akan kupastikan dia juga kutawarkan secangkir teh  panas chamomile.

Jkt 2013
-Si pemeluk hujan sendiri-


Kali Ini

Aku bukan pemetik harpa anggun yang bisa menyalurkan perasaannya dalam nada pilu, atau komporser yang dengan gamblang bisa menuliskan isi hati dan menggubahnya menjadi lirik lagu sendu. Aku juga bukan desainer yang bisa menusuk-nusukkan jarum di potongan kain dan disulap menjadi gaun indah. Bukan juga seorang pelukis dengan kuas menari-nari bisa menuangkan lukisan dalam sejuta makna di kanvas. Aku hanyalah seorang gadis pemetik bunga, bermain, berteman dan bermusuhan bersama perasaanku sendiri. Kadangkala aku menang dan kadangkala aku kalah oleh diriku sendiri. Anyway, kalau aku menang kali ini, kau kutraktir minum secangkir kopi. Silahkan pilih, di mana saja. 

Jakarta, Feb 2013
-Si Murah Hati-



Isi Cangkirku


Hey, ini isi cangkirku. Tidak usah cerewet apa yang kuisi di sini. Bisa saja ku isi dengan kopi panas mengepul, atau teh hijau kental beraroma yasmin. Bisa juga sirup manis rasa melon, atau orange juice beraroma segar. Mungkin juga wine merah kado natal kemarin atau sisa wiski punya pak boss di kulkas kantor. Sekali lagi, cangkir ini milikku. Apapun yang ingin kuisi tidak mengganggumu, bukan ?


Jakarta, 3 March 2013
-Si Pemilik Cangkir-

Kepala Batu

Aku masih ingin diam. Merenungkan luka yang membekas. "Keras kepala" itu ucapmu. Jangan mengusikku. Biarkan saja aku dengan kepala batuku. Palingkan wajahmu bila kau tidak suka. Hanya biarkan saja aku sendiri. Di dalam diamku ini, aku berharap rasa kesal tersapu hujan malam kemarin, hujan pagi ini, atau bahkan hujan malam nanti. 

Jakarta February 2013
-Aku, Si kepala batu-

Cerpen: Biarkan Hatimu Bicara

"Selamat Pagi". Sapaan pendek itu ditujukan kepadaku saat aku hendak memasuki lift di Sentra Senayan pagi ini. Aku mengalihkan pandanganku dan berpura-pura membetulkan letak scarfku sambil tersenyum tipis saja padanya. "Ada meeting lagi di lantai sebelas?" tanyanya. Aku menggangguk mengiyakan dan sibuk dengan telfon genggamku. Aku berdoa dalam hati semoga saja lift ini segera sampai di lantai 11 sehingga aku bisa segera keluar dan tidak perlu bersikap kaku terlalu lama disebelah mahluk yang satu ini. Tapi ternyata isi lift semakin penuh, seorang bapak-bapak bertubuh besar mendesak masuk dari lantai 5. Tas ranselnya yang besar menyenggolku dan membuat keseimbanganku goyah sehingga hampir terjatuh. Aku mencoba mencari pegangan dan tepat di saat itu, aku merasakan pelukan tangan hangat di pinggangku membantuku menyeimbangkan badanku. Kehangatan tangannya dan tatapan matanya sama seperti dulu, hangat seperti yang kukenal. Wajah yang dulu selalu penuh senyum mengisi hariku. Dalam diam, hatiku menyebut namanya lagi berulang kali, Ryan..Ryan. Dalam diam juga aku selalu merindukannya. "Terimakasih" ucapku pelan, tersenyum kaku dan tepat saat itu lift terbuka di lantai 11. 

Jumat sore pukul 5, aku melihat pemandangan di bawah dari jendela kantorku. Semua mobil penduduk Jakarta seakan berjejer di jalan Sudriman sore ini. Fey adikku, sudah kirim text berapa kali memastikan jadwal janjian kita. Aku merasa enggan membaur bersama pemandangan macet jalan Sudirman di bawah sana. Rika sepupuku juga sudah menelefon beberapa kali memberitahu bahwa dia akan telat sampai di Cafe Italia daerah Menteng tempat janjian kita malam ini. Telfon genggamku bergetar lagi di meja, dan ternyata itu nomor Robby teman baik Ryan. "Joy, aku ada di bawah parkiran kantormu, Ryan kecelakaan di tol dan sekarang sudah di rumah sakit. Aku mau ke sana kamu ikut sekalian ya". Aku speechless dan badanku terasa kaku tak bisa bergerak. Baru senin yang lalu terkahir kali aku bertemu dengan Ryan di dalam lift dan situasi kaku antara kita semakin mengusik hatiku dan juga hari-hariku belakangan ini. Suaranya, senyumnya, tawanya, saat-saat bersamanya dulu semua berputar bagai film di pelupuk mataku. 

Robby terlihat tegang di balik setir mobilnya. Aku gelisah dan berdoa dengan perasaan hati bercampur-aduk. 40 menit kemudian, kita tiba di Rumah Sakit di daerah Jakarta Barat. Segera kita masuk ke Unit Gawat Darurat. Di situ Ryan terbaring penuh perban di kepala, wajah dan juga sekujur tubuh, dalam kondisi tidak sadarkan diri. Tetesan darah di perban membuatku hampir tidak bisa bernafas melihat keadaannya. Air mataku tumpah, perasaan sakit, sedih dan pilu bercampur merobek-robek sisa tenagaku yang masih tersisa. Om Hendrawan, papa Ryan seperti dulu, jarang di rumah dan bahkan saat anaknya sampai pada kondisi seperti ini, beliau masih meeting di Singapore. Ryan terlihat menyedihkan. Terbaring dengan infus terpasang tidak berdaya seorang diri tanpa ada pihak keluarga. Sebagai anak tunggal dari pengusaha pipa, Ryan dididik menjadi anak yang keras, berpendirian teguh dan jelas sangat kekuarangan kasih sayang papanya,  Sedangkan mamanya sudah lama meninggal saat Ryan memasuki SMA dan sejak saat itu ia menjadi pribadi yang semakin tegar. 

Aku mengusap pelan wajah penuh perban itu dengan isak sedih. Aku tidak sanggup melihatnya seperti ini. Teringat saat pertama bertemu Ryan, wajahnya yang polos tanpa dosa keluar dari mobil memandangku yang menghadang di depannya dengan amarah. Rok putih cantikku kotor oleh cipratan becek dari mobilnya tanpa disadarinya. Saat itu aku sungguh tidak ingin memberi ampun padanya yang merusak penampilanku di hari pertama bekerja di kantor baru. Tapi ketulusan hatinya meminta maaf yang akhirnya bisa membuatku luluh dan bahkan seisi hatiku ikut luluh akan kebaikan dan ketulusan hatinya. Semua kehangatannya membuatku terbuai dan merajut kisah cinta dan kebahagiaan bersamanya selama tiga tahun, sampai pada saat kita membuat keputusan yang membuat denyut jantung kita berhenti di satu titik, di hari itu, 12 Desember. 

Ryan terpaksa mengikuti keinginan papanya untuk melanjutkan gelar doktor di Inggris. Tak ada bantahan darinya, begitu penurut sebagai seorang pewaris tunggal kerajaan pipa papanya. Dia pergi dan aku tidak bisa memberinya pilihan yang lebih baik saat itu. Dan jelas, pernikahan belum sampai pada pemikiran kita di masa itu. Terlalu banyak pertimbangan bagiku yang hanya berasal dari keluarga biasa. Email dan Telfon berhenti di tahun pertama, Laptopku kecurian, email terblock dan akhirnya kita kehilangan kontak satu sama lain. Tiga tahun sudah saat itu berlalu. Saat ia kembali semuanya sudah berbeda. Beberapa kali ia mencoba mencariku, tapi rasanya semua itu sudah berbeda. Akhirnya Ryan menjadi semakin sibuk dengan urusan bisnis papanya dan selalu terlihat ditemani gadis bernama Amanda pilihan papanya, putri seorang rekan bisnis. Selain itu, terlalu banyak juga gadis-gadis cantik di sekelilingnya. Aku yang sadar diri ini, akhirnya menjauh menyadari siapa diriku.
Sampai pada beberapa bulan terakhir ini, kita terpaksa sering bertatap muka, entah takdir langit yang seperti apa yang membuat kantorku semakin banyak berurusan bisnis dengan kantornya. Semua ini akibat kondisi merger perusahaan pertengahan tahun lalu. Selalu saja ada acara, seminar, dan makan malam yang mempertemukan kita kembali. Dan selalu saja, sikap dinginku membuatnya menjauh. Tidak ingin mengulang kisah lama, begitu bunyi kamus hidupku pada halaman pertama. Aku adalah seorang pejuang, pandanganku menatap lurus ke depan, tidak ada belenggu masa lalu yang bisa mengikatku. Begitupun dengan kisah percintaanku sendiri, tidak akan kubiarkan siapapun dari masa lalu menjadi batu sandungan dalam hidupku. 

Bunyi suara pendeteksi jantung berbunyi teratur. Wajahku memerah dan mataku mulai membengkak. Maskaraku yang sudah luntur membuatku terlihat semakin buruk, terlebih lagi tarikan nafas yang sungguh tidak teratur. Aku tersentak saat tanganku digenggam hangat. Kutatap wajah penuh perban itu. Dalam satu gerakan, ia bangun dan duduk menghadapku sambil membuka perban wajahnya. Aku shock dan hampir tidak percaya. Apa yang terjadi? Hatiku kacau. Ryan memandangku dengan penuh penyesalan dan juga binar nakal di matanya dihiasi senyum simpul geli. Aku  tersontak sadar, rasanya aku mulai mengerti arti semua ini. Satu tarikan ditanganku, Ryan memelukku hangat. "Maafkan aku Joy, tapi aku rasa aku perlu cara ini untuk mengetahui isi hatimu yang sebenarnya. Sebab, kau tidak pernah membiarkan hatimu bicara. Kau terlalu keras kepala. Tapi, aku rasa aku sudah menemukan jawabannya sekarang".

Tangisanku kembali pecah. "Aku sungguh ingin memukulmu hingga perban itu terpasang kembali ke wajahmu. Kamu... kamu selalu menjebakku Ryan. Sejak saat pertama sampai 6 tahun ini, hatiku terjebak bersamamu. Perasaanku tidak bisa berpindah kemanapun. Aku sungguh membencimu Ryan, kau menyiksaku". Ryan berbisik lembut ditelingaku. "Maaf sayang, kali ini kau tak akan kulepas lagi. Tidak peduli papa atau siapapun, kau akan tetap kutuntun berjalan di sisiku menemani sisa hidupku. Terangi duniaku lagi. I have no joy so long in my life without you. Will you be my bride soon?"

Jakarta, Cerpen 2010
-Syu-