Friday, March 8, 2013

Cerpen: Biarkan Hatimu Bicara

"Selamat Pagi". Sapaan pendek itu ditujukan kepadaku saat aku hendak memasuki lift di Sentra Senayan pagi ini. Aku mengalihkan pandanganku dan berpura-pura membetulkan letak scarfku sambil tersenyum tipis saja padanya. "Ada meeting lagi di lantai sebelas?" tanyanya. Aku menggangguk mengiyakan dan sibuk dengan telfon genggamku. Aku berdoa dalam hati semoga saja lift ini segera sampai di lantai 11 sehingga aku bisa segera keluar dan tidak perlu bersikap kaku terlalu lama disebelah mahluk yang satu ini. Tapi ternyata isi lift semakin penuh, seorang bapak-bapak bertubuh besar mendesak masuk dari lantai 5. Tas ranselnya yang besar menyenggolku dan membuat keseimbanganku goyah sehingga hampir terjatuh. Aku mencoba mencari pegangan dan tepat di saat itu, aku merasakan pelukan tangan hangat di pinggangku membantuku menyeimbangkan badanku. Kehangatan tangannya dan tatapan matanya sama seperti dulu, hangat seperti yang kukenal. Wajah yang dulu selalu penuh senyum mengisi hariku. Dalam diam, hatiku menyebut namanya lagi berulang kali, Ryan..Ryan. Dalam diam juga aku selalu merindukannya. "Terimakasih" ucapku pelan, tersenyum kaku dan tepat saat itu lift terbuka di lantai 11. 

Jumat sore pukul 5, aku melihat pemandangan di bawah dari jendela kantorku. Semua mobil penduduk Jakarta seakan berjejer di jalan Sudriman sore ini. Fey adikku, sudah kirim text berapa kali memastikan jadwal janjian kita. Aku merasa enggan membaur bersama pemandangan macet jalan Sudirman di bawah sana. Rika sepupuku juga sudah menelefon beberapa kali memberitahu bahwa dia akan telat sampai di Cafe Italia daerah Menteng tempat janjian kita malam ini. Telfon genggamku bergetar lagi di meja, dan ternyata itu nomor Robby teman baik Ryan. "Joy, aku ada di bawah parkiran kantormu, Ryan kecelakaan di tol dan sekarang sudah di rumah sakit. Aku mau ke sana kamu ikut sekalian ya". Aku speechless dan badanku terasa kaku tak bisa bergerak. Baru senin yang lalu terkahir kali aku bertemu dengan Ryan di dalam lift dan situasi kaku antara kita semakin mengusik hatiku dan juga hari-hariku belakangan ini. Suaranya, senyumnya, tawanya, saat-saat bersamanya dulu semua berputar bagai film di pelupuk mataku. 

Robby terlihat tegang di balik setir mobilnya. Aku gelisah dan berdoa dengan perasaan hati bercampur-aduk. 40 menit kemudian, kita tiba di Rumah Sakit di daerah Jakarta Barat. Segera kita masuk ke Unit Gawat Darurat. Di situ Ryan terbaring penuh perban di kepala, wajah dan juga sekujur tubuh, dalam kondisi tidak sadarkan diri. Tetesan darah di perban membuatku hampir tidak bisa bernafas melihat keadaannya. Air mataku tumpah, perasaan sakit, sedih dan pilu bercampur merobek-robek sisa tenagaku yang masih tersisa. Om Hendrawan, papa Ryan seperti dulu, jarang di rumah dan bahkan saat anaknya sampai pada kondisi seperti ini, beliau masih meeting di Singapore. Ryan terlihat menyedihkan. Terbaring dengan infus terpasang tidak berdaya seorang diri tanpa ada pihak keluarga. Sebagai anak tunggal dari pengusaha pipa, Ryan dididik menjadi anak yang keras, berpendirian teguh dan jelas sangat kekuarangan kasih sayang papanya,  Sedangkan mamanya sudah lama meninggal saat Ryan memasuki SMA dan sejak saat itu ia menjadi pribadi yang semakin tegar. 

Aku mengusap pelan wajah penuh perban itu dengan isak sedih. Aku tidak sanggup melihatnya seperti ini. Teringat saat pertama bertemu Ryan, wajahnya yang polos tanpa dosa keluar dari mobil memandangku yang menghadang di depannya dengan amarah. Rok putih cantikku kotor oleh cipratan becek dari mobilnya tanpa disadarinya. Saat itu aku sungguh tidak ingin memberi ampun padanya yang merusak penampilanku di hari pertama bekerja di kantor baru. Tapi ketulusan hatinya meminta maaf yang akhirnya bisa membuatku luluh dan bahkan seisi hatiku ikut luluh akan kebaikan dan ketulusan hatinya. Semua kehangatannya membuatku terbuai dan merajut kisah cinta dan kebahagiaan bersamanya selama tiga tahun, sampai pada saat kita membuat keputusan yang membuat denyut jantung kita berhenti di satu titik, di hari itu, 12 Desember. 

Ryan terpaksa mengikuti keinginan papanya untuk melanjutkan gelar doktor di Inggris. Tak ada bantahan darinya, begitu penurut sebagai seorang pewaris tunggal kerajaan pipa papanya. Dia pergi dan aku tidak bisa memberinya pilihan yang lebih baik saat itu. Dan jelas, pernikahan belum sampai pada pemikiran kita di masa itu. Terlalu banyak pertimbangan bagiku yang hanya berasal dari keluarga biasa. Email dan Telfon berhenti di tahun pertama, Laptopku kecurian, email terblock dan akhirnya kita kehilangan kontak satu sama lain. Tiga tahun sudah saat itu berlalu. Saat ia kembali semuanya sudah berbeda. Beberapa kali ia mencoba mencariku, tapi rasanya semua itu sudah berbeda. Akhirnya Ryan menjadi semakin sibuk dengan urusan bisnis papanya dan selalu terlihat ditemani gadis bernama Amanda pilihan papanya, putri seorang rekan bisnis. Selain itu, terlalu banyak juga gadis-gadis cantik di sekelilingnya. Aku yang sadar diri ini, akhirnya menjauh menyadari siapa diriku.
Sampai pada beberapa bulan terakhir ini, kita terpaksa sering bertatap muka, entah takdir langit yang seperti apa yang membuat kantorku semakin banyak berurusan bisnis dengan kantornya. Semua ini akibat kondisi merger perusahaan pertengahan tahun lalu. Selalu saja ada acara, seminar, dan makan malam yang mempertemukan kita kembali. Dan selalu saja, sikap dinginku membuatnya menjauh. Tidak ingin mengulang kisah lama, begitu bunyi kamus hidupku pada halaman pertama. Aku adalah seorang pejuang, pandanganku menatap lurus ke depan, tidak ada belenggu masa lalu yang bisa mengikatku. Begitupun dengan kisah percintaanku sendiri, tidak akan kubiarkan siapapun dari masa lalu menjadi batu sandungan dalam hidupku. 

Bunyi suara pendeteksi jantung berbunyi teratur. Wajahku memerah dan mataku mulai membengkak. Maskaraku yang sudah luntur membuatku terlihat semakin buruk, terlebih lagi tarikan nafas yang sungguh tidak teratur. Aku tersentak saat tanganku digenggam hangat. Kutatap wajah penuh perban itu. Dalam satu gerakan, ia bangun dan duduk menghadapku sambil membuka perban wajahnya. Aku shock dan hampir tidak percaya. Apa yang terjadi? Hatiku kacau. Ryan memandangku dengan penuh penyesalan dan juga binar nakal di matanya dihiasi senyum simpul geli. Aku  tersontak sadar, rasanya aku mulai mengerti arti semua ini. Satu tarikan ditanganku, Ryan memelukku hangat. "Maafkan aku Joy, tapi aku rasa aku perlu cara ini untuk mengetahui isi hatimu yang sebenarnya. Sebab, kau tidak pernah membiarkan hatimu bicara. Kau terlalu keras kepala. Tapi, aku rasa aku sudah menemukan jawabannya sekarang".

Tangisanku kembali pecah. "Aku sungguh ingin memukulmu hingga perban itu terpasang kembali ke wajahmu. Kamu... kamu selalu menjebakku Ryan. Sejak saat pertama sampai 6 tahun ini, hatiku terjebak bersamamu. Perasaanku tidak bisa berpindah kemanapun. Aku sungguh membencimu Ryan, kau menyiksaku". Ryan berbisik lembut ditelingaku. "Maaf sayang, kali ini kau tak akan kulepas lagi. Tidak peduli papa atau siapapun, kau akan tetap kutuntun berjalan di sisiku menemani sisa hidupku. Terangi duniaku lagi. I have no joy so long in my life without you. Will you be my bride soon?"

Jakarta, Cerpen 2010
-Syu-




No comments:

Post a Comment